Tuesday, July 24, 2018

GODAAN DARI IBU BOSKU TAK TERTAHANKAN

GODAAN DARI IBU BOSKU TAK TERTAHANKAN



Cerita Dewasa - Matahari menyeruak masuk menyusuri celah-celah korden kamar hotel. 
Mataku terbuka dan memandang langit-langit kamar. Aku menoleh ke samping tanpa 
mendapati Ibu Rossye di sisiku. Pikiranku saat itu, Ibu Rossye sedang di kamar mandi 
membersihkan diri. Sedikit pun aku tidak berpikir bahwa dia akan meninggalkan aku tanpa
berpamitan. Secarik kertas yang aku temukan di meja akhirnya menjawab keraguanku.

“Abi sayang, Ibu pindah ke kamar sebelah. Pagi ini ada meeting dikantor bersama staf, 
jadi pagi-pagi Ibu sudah pindah kamar tanpa memberitahu kamu. Kalau bisa, kamu jangan 
balik ke jakarta. Temani Ibu, sayang.., Your lovely”

Pagi itu juga aku telepon reception hotel menyampaikan perpanjangan waktu menginap. 
Aku sempatkan berjalan-jalan disekitar hotel sambil menikmati cerahnya suasana pagi. 
Orang-orang sudah memulai aktivitasnya. Ibu-Ibu tua pemijat, menawarkan jasanya kepada 
beberapa orang asing yang sedang bermalas-malasan. Anak-anak muda berambut 
kekuning-kuningan karena terbakar sinar matahari, menenteng papan ski. Mereka terlihat 
begitu gembira saat melihat ombak besar bergulung-gulung memecah pantai.

“Mas.. Mas Abi kan?” Terdengar suara perempuan memanggilku.

Aku menoleh kearah suara tersebut dan mendapati Tari, staf Ibu Rossye berlari-lari kecil 
ke arahku. Pakaiannya sangat casual, dengan celana pendek berwarna putih 
mempertontonkan kakinya yang putih dan jenjang. Tari sungguh gadis yang sangat sexy, 
aku berkata dalam hati. Dan hari ini dia begitu ramah kepadaku. Sepertinya muka judes 
yang dia perlihatkan tadi malam, sirna ditelan oleh cerahnya mentari pagi.

“Hei.. Saya pikir ikut Ibu, katanya ada meeting?” Sahutku saat Tari berada dekatku.
“Hm.. Ibu bilang begitu?” Kata-katanya membuat aku bertanya-tanya dalam hati.
Keraguanku segera terjawab, “Ibu bertemu seseorang di Denpasar.

Tadinya saya akan ikut, tapi Ibu bilang nggak apa-apa kalau dia pergi sendiri. ”

“Mas.. Saya bosan disini, penginnya balik ke Jakarta segera” Sahutnya sambil 
menendang-nendang pasir yang putih.
“Karena cowoknya nunggu kan?” Aku menggoda.
“Iih, Mas bisa aja.. Bukan! Tari kan nggak punya cowok” Balasnya sambil mencoba 
mencubit lenganku.

Tapi dengan reflek aku menghindar sehingga Tari tambah bernafsu ingin mencubit lenganku. 
Setiap tangannya mencoba mencubit, aku berlari menghindar layaknya anak kecil 
bermain-main.

“Udah-udah, udah.. Aku nyerah, gih cubit..” Aku kasihan kepadanya.
“Nah, gitu dong Mas, sekarang aku cubit ya..” Senyumnya tersungging cantik.

Jarum jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul setengah dua belas. Matahari
dipantai Kuta menyengat kulit. Butiran-butiran pasir sesekali terbang ditiup angin. Peselancar
masih bermain-main bersama ombak yang bergulung-gulung.

“Tari, kita makan siang yuk? Kamu udah pernah ke Jimbaran?”
“Udah, sea foodnya enak lho Mas.. Mau berangkat sekarang?”
“Tari sudah mulai lapar nih..” Selorohnya.

Jimbaran di siang hari, hanya beberapa rumah makan yang buka. Tampak beberapa 
pasangan orang asing bercengkrama dengan riang sambil meneguk beberapa botol bir. 
Aku dan Tari memesan ikan bakar, cumi dan kerang. Tari hanya makan ikan dan cumi bakar
dengan nasi sedikit.

“Diet, Tar?
“Nggak, emang Tari makannya dikit, ayo dong, Mas makannya yang banyak, biar kuat kan?”
“Kuat apaan, kuat ngangkat kamu iya..” Aku tertawa membalas ucapannya.

“Emang kuat Mas..” “Ya iyalah.. Orang kamu nggak gemut-gemut amat. Kalau seperti orang
itu”, aku menunjuk kepada seorang perempuan yang bertubuh besar, “Mampuslah aku..” 
“Ha.. Ha.. Lucu..” Tawanya lepas.

Sepanjang jalan pulang ke hotel, aku dan Tari banyak bercerita mengenai pribadi 
masing-masing dan seputar usaha Ibu Rossye. Tari kelihatan sangat senang dengan 
pekerjaannya sekarang bersama Ibu Rossye. Ibu Rossye banyak membimbingnya dalam 
bekerja, layaknya Ibu dan anak.

Ketika telah sampai di halaman hotel, Tari kelihatan gelagapan. Tangannya mencari-cari 
sesuatu dalam tas yang dia bawa. Benda putih berupa tabung kecil, dia semprotkan kedalam 
rongga mulutnya. Napasnya terlihat mulai teratur.

“Kamu punya penyakit asma ya Tar..?” Kataku penuh perhatian.

Tari hanya mengangguk kecil dan tangannya segera memegang lenganku. “Sorry ya Mas, 
Tari masih merasa nggak enak. Kayak lemes gitu..” Ujarnya dengan lirih. Aku merasa kasihan 
kepada Tari. Perlahan-lahan aku berjalan menuju kamar Tari sambil memegangnya.

“Mas, temani Tari sebentar ya.. Takut kalau asmanya kambuh lagi.”

Aku menganggukkan kepala sambil membuka selimut tempat tidurnya, serta 
mempersilahkannya untuk beristirahat. Tari tergolek manja. Aku memandangnya dengan 
penuh perhatian. Matanya terbuka dan melihat ke arahku.

“Apa lihat-lihat..” Tegurnya dengan senyum simpul.
“Kamu cantik, Tari.”
“Gombal!”

“Benar! Kamu cantik! Aku dari tadi perhatiin kamu. Kamu terlihat tegar dan energik. Dan aku 
sangat khawatir kalau kamu ada apa-apa. Aku sayang kamu, Tari..” Aku berkata tanpa 
memberinya waktu untuk berbicara.

“Trus Ibu Rossye?” Ujarnya.
Aku mendekati Tari dan duduk disisi tempat tidurnya.

“Nggak ada apa-apa..” Aku berbohong.
“Kita hanya mengobrol sepanjang malam.”
“Mas jangan bohong..” Badannya bergeser ke samping.

“Apa aku harus mencium kamu untuk membuktikan kalau saya sayang kamu Tari?” Dengan 
lembut aku mencium bibirnya. “Aku sayang kamu, Tari.” Dia melepaskan ciumannya dari 
bibirku. “Mana ada orang buktiin cinta dengan ciuman, gombal!” Senyumnya menggoda.

“Maunya yang bagaimana?”
“Apa aku harus membelah dadaku, boleh! Aku ambil pisau sekarang..” Pura-pura aku 
beranjak dari tempat tidurnya.
“Jangan.. Jangan..! Entar aku disangka bunuh kamu Mas..” Sahutnya tertawa manja.

Aku tidak membuang waktu terlalu lama, bibirku segera melumat bibirnya dengan nakal. Tari 
seorang pencium yang baik. Bibirnya menempel ketat pada bibirku dan memainkan lidahnya 
dengan sangat piawai. Buah dadanya menggesek badanku saat ciuman kami makin liar. 
Tanganku mulai bergerilya mengelus-elus pahanya yang putih. Sedangkan tanganku yang 
satunya membuka kancing celana panjang yang masih aku kenakan.

Sengaja aku membuka celana lebih dahulu, agar kontolku yang sudah mengeras keluar 
dengan lapang dan membuat birahi Tari makin liar. Tepat dugaanku! Tangan Tari memegang 
batang kontolku. Kadang digenggamnya batang kontolku dengan kuat. Terlihat emosi sexnya 
begitu tinggi, genggaman tangannya sangat jelas menunjukkan.

“Ahh.. Cium Adik kecilku sayang..” Aku mengatakannya dengan lembut.
“Wah.. Tegang sekali ya Mas.. Bisa nggak muat nih..”

Aku hanya tertawa mendengar gurauannya. Secara perlahan-lahan bibir tipisnya mencium 
ujung kontolku.. Lidahnya bermain-main mengelitik urat-urat kontolku yang makin jelas terlihat 
menahan geli. Sesekali aku menggelinjang kegelian saat mulutnya menghisap dengan kuat.

“Ahh.. Sakit sayang..”, Tari hanya tertawa kecil mendengar protesku
“Habis.. Adik kecilnya Mas menggemaskan..”
“Ha.. Ha..”, kami tertawa bersama-sama.

Aku membuka baju dan melepaskan celana. Tari pun mengikuti langkah yang sama. BH dan 
celana dalamnya sangat serasi menempel pada kulit putihnya. “Boleh aku photo 
kamu sayang..?” ujarku sambil mengambil camera digital yang tergeletak di samping tempat 
tidur.

“Apa? Mas ada-ada saja..”
“Badan kamu sexy, kalau diphoto hasilnya pasti seperti playmate playboy.”
“Ngaco..” Kita kembali tertawa dengan lepas. Gigi putihnya terlihat rapi menebarkan pesona.

Aku mencium Tari dengan lembut sambil melepaskan kaitan BH-nya. Payudara Tari terlihat 
kencang mencuat kedepan. Aku meremas kedua payudaranya dari arah bawah. Lagi-lagi 
Tari meremas-remas batang kontolku dengan keras. Orang bilang, kalau perempuan itu 
gemas memegang sesuatu, apalagi gemas memegang alat vital, biasanya perempuan 
tersebut memiliki birahi sex tinggi.

“Ahh..” Aku mengerang kenikmatan ketika tangan Tari mengocok-ngocok batang kontolku.

Tari merebahkan dirinya seolah ingin dipuaskan. Kesempatan ini jelas aku pergunakan untuk
memuaskan dirinya luar dalam. Puting payudaranya yang kemerahan aku hisap dengan 
ganas. Tari begitu menikmati permainan sex babak pertama.

“Gigit.. Mas..” Kedua tangannya mencengkram sprei. Matanya terpejam menahan geli.
“Uh.. Enaknya.. Uh.. Trus sayang..” Mulutnya mengucapkan kata-kata birahi.

Erangan Tari membuat aku makin bernafsu melumat klitorisnya. Bibir vaginanya terlihat rapi
menempel pada sisi luar, yang ditumbuhi bulu-bulu halus bekas cukuran.

“Ah..”
“Kenapa sayang..” Aku mendongakkan kepala sambil menyengir.

“Sakit!” Protesnya. “Satu nol!” Aku tertawa melihat expresi mukanya, kelihatan cemberut. 
“Iih.. Dendaman ya.. Entar Tari balas..” “Ya.. Ya.. Becanda kok sayang. Aku akan memuaskan 
dirimu sayang.. U will cum more than ever.. Ha.. Ha..”

“Emang bisa?”
“Tari bisa berkali-kali orgasme lho say.. ”
“Lets see..”

Aku memainkan lidah, menusukkan lidahku kedalam lubang vaginanya. Menjilati klitorisnya
dan sesekali menarik-narik dengan lembut kedua bibir vaginanya. Mata Tari terpenjam
menikmati permainanku. Lubang pantatnya terlihat sedikit terbuka, ketika kakinya dinaikkan
ke atas.

Rupanya pantatnya pun sudah pernah kemasukkan benda tumpul. Tanpa perasaan jijik aku 
jilati lubang pantatnya. Lidahku kembali bermain-main menemukan daerah baru. Lubang 
pantat! Ketika lubang vaginanya mulai basah. Kontolku mulai mengarah masuk. Bles..

“Ahh. Enak sekali sayang.. Trus..”
“Yang keras sayang..” Tari berteriak-teriak kepuasan.

Pantatnya naik dan turun mengikuti irama naik dan turunnya kontolku. Sesekali pantatnya 
bergetar membuat kontolku seperti tersedot.

“Ah.. Memek kamu enak sekali say..”
“Punya Mas juga.. Besar..!” Tari mengerling ke arahku.
“Ah.. Mas.. Tari mau keluar.. Aahh..”

Aku tambah bernafsu memasukkan kontolku menembus liang vaginanya yang mulai basah.
Dari dinding vaginanya keluar cairan membasahi kontolku. Vagina Tari berkedut-kedut
menjepit kontolku yang masih tertanam di dalam. “Sa.. Tu kali..” Kataku sambil
terengah-engah nikmat. Tari hanya tersenyum puas memandang ke arahku.

Aku kembali memulai babak berikutnya. Kontolku mengarah ke posisi lain, lubang pantat Tari!
Perlahan tapi pasti, akhirnya Sst.. Sst.. Blep.. Muka Tari terlihat menahan sakit dan giginya 
terkatup. Lubang pantat Tari menjepit batang kontolku dengan kuat. Sulit aku katakan dengan
bahasa yang lugas, pokoknya nikmat hingga ke ubun-ubun.

Perlahan-lahan kontolku keluar dan masuk. Seperti orang bilang, lama-lama menjadi biasa. 
Dinding lubang pantatnya pun mengikuti besarnya kontolku. Sesaknya berkurang, kontolku 
makin cepat masuk dan keluar lubang pantatnya.

“Ahh.. Don’t stop hon..” Tari berteriak kenikmatan.

Tangannya menggosok-gosok klitorisnya sambil memejamkan mata. Rasanya puncak 
kenikmatannya akan tiba. Badannya kembali bergonyng-goyang, seolah ingin menumpahkan 
seluruh cairan kenikmatannya.

“Ahh.. Aku keluar lagi..” Tari berteriak. Dan kontolku masih mengocok lubang pantatnya.
“Ayo.. Say.. Keluarin.. Tari udah nggak ditahan..”

Makin kencang kontolku keluar dan masuk, makin cepat dorongan spermaku ingin tumpah. 
Dan aku tidak ingin menahannya di dalam kontolku. Aku harus membuang spermaku di dalam 
lubang kenikmatan Tari.

“Ah.. Aku mau keluar.. Tar..” Kocokan kontolku makin kencang.

Saat spermaku hendak keluar, tangan Tari menarik kontolku dan memasukkannya dengan 
cepat ke dalam lubang vaginanya. “Ah.., aahh..”, Crot crot.. Spermaku tumpah ruah di dalam 
lubang vagina Tari. Kedutan vaginanya seolah-olah ingin memeras batang kontolku agar 
spermanya keluar tak tersisa.

Aku tersenyum kepadanya.

Tiba-tiba bunyi bel terdengar. Tari kelihatan gugup serta menyuruh aku membersihkan badan 
di kamar mandi. Dari balik kamar mandi aku mendengar suara seorang perempuan, seperti 
suara Ibu Rossye. Mati aku! Aku berkata dalam hati. TAMAT

0 comments:

Post a Comment